BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kekerasan Dalam Rumah Tangga
(KDRT) bukan hal asing lagi bagi masyarakat karena tidak hanya heboh dalam
kisah sinetron, melainkan juga populer di dunia nyata. Kian hari kasus KDRT ini
kian merebak tanpa ada sebab yang jelas ataupun motivasi atas tindakan
kekerasan ini. Dampak negatif yang ditimbulkan oleh kekerasan ini sangat serius
karena korban KDRT ini tidak hanya akan
mengalami cacat fisik melainkan bisa juga mengalami cacat mental.
Seperti
akhir triwulan pertama tahun 2007 lalu, muncul kasus dengan tingkat ekstrimitas
yang tinggi, yakni sejumlah kasus pembunuhan anak oleh ibu kandungnya sendiri.
Kasus terkini, Maret 2008, seorang ibu membunuh bayi dan balita dengan cara
menceburkan mereka ke bak mandi. Modus baru yang perlu diwaspadai, kasus
perdagangan anak untuk dijual organ tubuhnya. Menurut laporan dalam suatu
pertemuan di Australia, diduga ada anak dari Indonesia yang jadi korban
perdagangan anak untuk kepentingan dijual organ tubuhnya. Data kasus yang dilaporkan
ke kepolisian, setiap tahun ada sekitar 450 kasus kekerasan pada anak dan
perempuan. Sebanyak 45 persen dari jumlah kasus itu, korbannya adalah anak-anak
(kompas, 14/04/2008).
Perlu diketahui bahwa KDRT ini
bukan lagi masalah kekerasan yang terjadi dalam lingkup rumah tangga seseorang,
melainkan telah menjadi tindakan kriminal, sehingga pemerintah telah
mengeluarkan Undang-Undang untuk melindungi korban dan mencegah KDRT.
Beberapa Undang-Undang yang telah
dikeluarkan oleh pemerintah :
1. Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28 G
2. Undang-Undang No. 9 tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia
3. Undang-Undang No. 7 tahun 1984 tentang
Pengesah-an Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap
Wanita
4. Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan
5. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
6. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
7. Undang-Undang No. 23 tahun 2004 tentang
Penghapusan KDRT
Undang-Undang
tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU KDRT) ini terkait erat dengan beberapa
peraturan perundang-undangan lain yang sudah berlaku sebelumnya antara lain UU
No.1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), UU No. 8 Tahun
1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), UU No. 1 Tahun
1974 tentang UU Perkawinan, Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan
Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention
on the Elimination of All of Dicrimination Against Women) pada tanggal 24
Juli 1984. Juga telah diundangkannya Undang-Undang Hak Asasi Manusia Nomor 39
Tahun 1999 (http://pembaharuankeluarga.wordpress.com/2009/01/08/kekerasan-dalam-rumah-tangga/).
Namun pada kenyataannya pelaksanaan Undang-Undang tersebut masih kurang
maksimal, tindak kekerasan ini semakin bertambah, malah semakin menjadi parah. Lalu
apa yang terjadi dengan Undang-Undang HAM, Undang-Undang Perlindungan Anak dan
Undang-Undang lainnya yang ‘katanya’ melindungi para korban kekerasan dalam
rumah tangga ini ? Apakah Undang-Undang tersebut hanya dibuat saja tapi dalam
pelaksanaannya tidak ada ?
Penulis mengambil salah satu contoh dari lingkungan kehidupan masyarakat
penulis sendiri. Ada seorang Kepala Keluarga yang mengekang anaknya yang masih
berumur 10 tahun agar tidak main bersama teman-teman sebayanya, anak tersebut
hanya disuruh belajar dan belajar dengan alasan agar cepat pintar. Suatu saat
anak tersebut tidak suka dengan apa yang dilakukan ayahnya terhadapnya, dengan
emosinya anak tersebut dimarahi sambil dipukul dengan kayu rotan oleh ayahnya
sendiri sehingga, mengakibatkan anak tersebut merintih kesakitan, menangis
sambil memegang tubuhnya yang membiru akibat perlakuan ayahnya sendiri.
Kejadian tersebut sudah termasuk kekerasan dalam rumah tangga. Inilah salah
satu yang perlu diluruskan, bahwa pendidikan yang di dalamnya terdapat
kekerasan hanya akan mengakibatkan kesengsaraan.
Menurut penulis, jangan sepenuhnya serahkan permasalahan ini kepada
pemerintah, tapi masyarakat juga harus membantu. Bila hanya pemerintah yang
bergerak, tapi masyarakat masa bodoh dengan tindak kekerasan ini, maka penulis
yakin pemerintah tidak dapat menyelesaikan secara menyeluruh tindak kekerasan
ini. Pemerintah mempunyai aparat penegak hukum yang telah disebarkan di seluruh
pelosok negeri kita ini, dengan tujuan agar dapat segera menangani tindak
kriminal yang terjadi di daerah tersebut. Sekarang masyarakat pun harus ikut
membantu melancarkan tugas para penegak hukum tersebut dengan cara melaporkan
apa yang terjadi di lingkungan mereka yang dianggap suatu tindak kriminal. Bila
sudah terjadi komunikasi antara masyarakat dengan aparat penegak hukum, maka
tindak kriminal ini bisa diminimalisir bahkan bisa ditumpas hingga ke
akar-akarnya. Penulis sangat menekankan pada kerja sama antara pihak masyarakat
dengan pihak penegak hukum.
1.2
Rumusan Masalah
1. Apa definisi Kekerasan Dalam Rumah Tangga
(KDRT) ?
2. Mengapa Kekerasan Dalam Rumah Tangga
(KDRT) bisa terjadi ?
3. Apa akibat yang ditimbulkan tindak
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) ?
4. Bagaimana upaya penyelesaian KDRT ?
1.3
Cara Pembahasan
Agar tidak
terjadi pemahaman yang terlalu luas, penulis membatasi ruang lingkup pembahasan
pada pengertian, penyebab, dampak dan solusi KDRT. Penulis dalam membahas
masalah KDRT ini, mengambil penelitian kepustakaan, yakni melalui internet.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Definisi Kekerasan Dalam Rumah Tangga
(KDRT)
Menurut widha87 (2009), KDRT adalah “setiap
perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya
kesengsaraan, atau penderitaan secara fisik, seksual psikologis, penelantaran
rumah tangga, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau
perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga”.
Sebenarnya KDRT bisa menimpa siapa saja baik ibu, bapak, suami, istri, anak,
pembantu rumah tangga, ataupun anggota keluarga lain yang tinggal serumah alias
seatap misal bapak/ibu/mertua dll, namun Secara umum pengertian KDRT
(Kekerasan Dalam Rumah Tangga) lebih di persempit artinya sebagai bentuk
penganiayaan seorang suami terhadap sang istri.
Menurut Marsana Windhu (2002,12-31) yang mengikuti
Johan Galtung, kekerasan dalam rumah tangga bukan hanya kekerasan psikologis
tetapi juga kekerasan struktural. Kekerasan struktural yang terjadi di
Indonesia, yakni, penyimpangan hukum, kemiskinan, ketertinggalan, perang
mengatasnamakan kelompok, merupakan suatu realitas masyarakat yang tidak sesuai
dengan gagasan idealnya.
Menurut AKBP Drs. YUDIAWAN SRIYANTO, Psi. (2008), KDRT
adalah adanya kekerasan dalam rumah tangga seperti kekerasan fisik (tamparan,
pukulan, lemparan benda-benda), kekerasan psikis (penghinaan, kata-kata kasar)
maupun kekerasan ekonomi (penelantaran).
Menurut
Prof. Dr. Harkristuti Harkrisnowo, SH. (2004), KDRT merupakan kekerasan
jasmani, seksual dan psikologis yang terjadi dalam rumah tangga, dalam
masyarakat umum, dan juga yang dilakukan atau dibiarkan terjadinya oleh Negara.
Menurut Yus Mashfiyah (2009), secara definitif
kekerasan adalah segala bentuk perbuatan yang menimbulkan luka baik secara
fisik maupun psikologis.
Dari definisi di atas, menurut penulis pengertian
KDRT adalah bentuk kekerasan yang terjadi dalam suatu rumah tangga baik secara fisik maupun psikologis dengan
sasaran yang paling sering menjadi korbannya yakni perempuan dan anak-anak.
2.2
Penyebab Terjadinya Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)
Menurut Husnul Khotimah
(2006), penyebab KDRT adalah akibat masih kuatnya budaya patriarki di tengah-tengah masyarakat yang
selalu mensubordinasi dan memberikan pencitraan negatif terhadap perempuan
sebagai pihak yang memang 'layak' dikorbankan dan dipandang sebatas "alas
kaki di waktu siang dan alas tidur di waktu malam".
Menurut Andi (2009), faktor penyebab terjadinya KDRT adalah budaya
patriarki yang masih kuat sehingga laki-laki dianggap paling dominan, baik di
dalam keluarga maupun lingkungan sekitar, himpitan ekonomi keluarga, himpitan
masalah kota besar yang mendorong stress, kondisi lingkungan dan pekerjaan yang
berat mendorong tingginya temperamental orang.
Menurut Mbah Romo (2009) faktor-faktor penyebab terjadinya kekerasan dalam
rumah tangga adalah :
1.
Masih rendahnya kesadaran
untuk berani melapor dikarenakan dari masyarakat sendiri yang enggan untuk
melaporkan permasalahan dalam rumah tangganya, maupun dari pihak-pihak yang
terkait yang kurang mensosialisasikan tentang kekerasan dalam rumah tangga,
sehingga data kasus tentang (KDRT) pun, banyak dikesampingkan ataupun dianggap
masalah yang sepele. Masyarakat ataupun pihak yang tekait dengan KDRT, baru
benar-benar bertindak jika kasus KDRT sampai menyebabkan korban baik fisik yang
parah dan maupun kematian, itupun jika diliput oleh media massa. Banyak sekali
kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang tidak tertangani secara langsung dari
pihak yang berwajib, bahkan kasus-kasus KDRT yang kecil pun lebih banyak
dipandang sebelah mata daripada kasus-kasus lainnya.
2.
Masalah budaya, masyarakat
yang patriarkis ditandai dengan pembagian kekuasaan yang sangat jelas antara
laki-laki dan perempuan dimana laki-laki mendominasi perempuan. Dominasi
laki-laki berhubungan dengan evaluasi positif terhadap asertivitas dan
agtresivitas laki-laki, yang menyulitkan untuk mendorong dijatuhkannya tindakan
hukum terhadap pelakunnya. Selain itu juga pandangan bahwa cara yang digunakan
orang tua untuk memperlakukan anak-anaknya, atau cara suami memperlakukan
istrinya, sepenuhnya urusan mereka sendiri dapat mempengaruhi dampak timbulnya
kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
3.
Faktor Domestik Adanya
anggapan bahwa aib keluarga jangan sampai diketahui oleh orang lain. Hal ini
menyebabkan munculnya perasaan malu karena akan dianggap oleh lingkungan tidak
mampu mengurus rumah tangga. Jadi rasa malu mengalahkan rasa sakit hati,
masalah Domestik dalam keluarga bukan untuk diketahui oleh orang lain sehingga
hal ini dapat berdampak semakin menguatkan dalam kasus KDRT.
4.
Lingkungan. Kurang tanggapnya
lingkungan atau keluarga terdekat untuk merespon apa yang terjadi, hal ini
dapat menjadi tekanan tersendiri bagi korban. Karena bisa saja korban
beranggapan bahwa apa yang dialaminya bukanlah hal yang penting karena tidak
direspon lingkungan, hal ini akan melemahkan keyakinan dan keberanian korban
untuk keluar dari masalahnya.
Sedangkan menurut Ragile
(2009), penyebab KDRT terjadi
karena pelaku belum memiliki pengetahuan yang cukup tentang hak dan kewajiban,
belum memahami etika pergaulan dan etika berumah tangga yang beradab
sesuai dengan perkembangan jaman.
Yus Mashfiyah (2009)
berpendapat bahwa penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga adalah pada
saat ada ketimpangan kekuasaan yakni pada saat seseorang merasa lebih berkuasa
atau lebih kuat dari orang lain.
Menurut penulis sendiri
penyebab terjadinya KDRT karena faktor budaya yang masih melekat. Masyarakat
menganggap bahwa pria lebih berkuasa dari perempuan yang kemudian menjadi
asumsi bahwa perempuan merupakan sasaran yang tepat bagi pelampiasan emosi
pria, sehingga pada saat kekerasan tersebut terjadi, masyarakat beranggapan
perempuan layak untuk mendapatkannya.
2.3
Akibat Yang Ditimbulkan Tindak Kekerasan
Dalam Rumah Tangga (KDRT)
Mbah Romo (2009),
berpendapat akibat ataupun pengaruh dari kekerasan yang dilakukan dalam rumah
tangga (KDRT) dapat berwujud secara fisik (luka, cacat) maupun secara psikis
(trauma, depresi, rasa rendah diri untuk berhubungan dengan orang lain) bagi
kelompok korban, jika tidak ditangani dengan cepat dapat berakibat fatal dalam
kehidupan korban.
Menurut Widha87 (2009),
KDRT mengakibatkan gangguan
mental (kejiwaan) terhadap istri maupun anak, melanggar syari’at agama
sementara agama mengajarkan umatnya untuk mewujudkan keluarga yang sakinah
mawaddah wa rahmah bukanlah suatu KDRT.
Menurut Prof. Dr. JE Sahetapy (dalam Swardhana, 2004:87), KDRT dapat
mengakibatkan korban menderita kerusakan, kesakitan, atau bentuk-bentuk
kerugian yang lain (fisik maupun mental), hal ini tidak hanya dilihat dari
sudut pandang hukum, tetapi juga sudut pandang ekonomi, sosiologi, politik, dan
budaya.
Pudji Susilowati, S.Psi (2008), mengemukakan dampak dari
kekerasan terutama terhadap istri adalah: mengalami sakit fisik, tekanan
mental, menurunnya rasa percaya diri dan harga diri, mengalami rasa tidak
berdaya, mengalami ketergantungan pada suami yang sudah menyiksa dirinya,
mengalami stress pasca trauma, mengalami depresi, dan keinginan untuk bunuh
diri.
Dampak kekerasan terhadap pekerjaan istri adalah kinerja menjadi buruk,
lebih banyak waktu dihabiskan untuk mencari bantuan pada Psikolog ataupun
Psikiater, dan merasa takut kehilangan pekerjaan.
Dampaknya bagi anak adalah: kemungkinan kehidupan anak akan dibimbing
dengan kekerasan, peluang terjadinya perilaku yang kejam pada anak-anak akan
lebih tinggi, anak dapat mengalami depresi, dan anak berpotensi untuk melakukan
kekerasan pada pasangannya apabila telah menikah karena anak meniru perilaku
dan cara memperlakukan orang lain sebagaimana yang dilakukan oleh orang tuanya.
KDRT
berdampak pada korban baik secara fisik maupun psikis korban tersebut. Akibat
penganiayaan fisik yang jelas menderita sakit badaniah contoh : penganiayaan
yang dilakukan oleh suami di Surabaya yang menyiramkan air panas ke muka istrinya
yang berakibat fatal wajah istrinya tersebut menjadi melepuh. Penganiayaan-penganiayaan
yang juga dilakukan oleh orang tua kepada anak-anaknya juga sering kita dengra
dan lihat mengakibatkan anka tersebut menderita patah, memar maupun yang sangat
yang lebih marah sampai meninggal dunia. Dari contoh-contoh diatas merupakan
dampak-dampak fisik akibat dari KDRT yang secara tidak langsung akan juga
berdampak pada kondisi psikologis para koraban KDRT, (penganiayaan anak yang
dilakukan orang tua) akibat yang dilakukan oleh orang tua merupakan pengalaman
yang sangat negatif bagi anak. Dengan demikian, tidak mengejutkan bila banyak
di antara anak-anak mengalami gangguan serius dan berlangsung dalam jangka
panjang pada kesehatan psikologis, fungsi dengan hubungan sosial, dan perilaku
mereka secara umum. Self Esteem yang rendah, kecemasan, perilaku merusak diri (self
destructive), dan ketidakmampuan menjalin hubungan yang saling mempercayai
dengan orang lain adalah efek-efek penganiayaan fisik pada masa kanak-kanak
yang lazim dilaporkan (Milner dan Crouch, 1999).
Pada
dampak penganiayaan pada pasangan yang sering terjadi dalam kehidupan rumah
tangga, selain menimbulkan akibat fisik badaniah (cedera yang serius. Lebih
tingginya insiden penyakit fisik yang berhubungan dengan stress) dan efek yang
bersifat ekonomis. Diantara efek-efek psikologis penganiayaan pasangan,
depresi, kecemasan, dan self esteem yang negatif telah diidentifikasi sebagai
respon yang lazim dijumpai. Selain itu, penganiayaan pasangan memiliki efek
adversif terhadap hubungan antar pribadi secara umum (AKBP Drs. YUDIAWAN
SRIYANTO, Psi., 2008).
Penulis
sendiri berpendapat akibat dari KDRT yakni akibat fisik meliputi bekas
kekerasan yang dilakukan oleh pelaku seperti bekas luka akibat pukulan dan memar.
Akibat mental meliputi menurunnya rasa percaya diri, adanya ketakutan yang
berkepanjangan dan tidak berdaya untuk melaporkan kejadian yang dialami oleh
korban kepada pihak yang berwajib.
2.4
Upaya Penyelesaian KDRT
AKBP Drs. YUDIAWAN SRIYANTO,
Psi. (2008) mengemukakan upaya penyelesaian KDRT, yaitu :
1.
Membangun
kesadaran bahwa persoalan KDRT adalah persoalan sosial bukan individual dan
merupakan pelanggaran hukum yang terkait dengan HAM.
2.
Sosialiasasi
pada masyarakat tentang KDRT adalah tindakan yang tidak dapat dibenarkan dan
dapat diberikan sanksi hukum. Pertama-tama dengan cara mengubah pondasi KDRT di
tingkat masyarakat dan terutama membutuhkan adanya konsensus bahwa kekerasan
adalah tindakan yang tidak dapat diterima.
3.
Mengkampanyekan
penentangan terhadap penayangan kekerasan di media yang mengesankan kekerasan
sebagai perbuatan biasa, menghibur dan patut menerima penghargaan.
4. Peranan media massa, Media cetak, televisi,
bioskop, radio dan internet adalah macrosystem yang sangat berpengaruh untuk
dapat mencegah dan mengurangi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Peran media
massa sangat berpengaruh besar dalam mencegah KDRT bagaimana media massa dapat
memberikan suatu berita yang bisa merubah suatu pola budaya KDRT adalah suatu
tindakan yang dapat melanggar hukum dan dapat dikenakan hukuman penjara sekecil
apapun bentuk dari penganiayaan.
5. Mendampingi korban dalam menyelesaikan persoalan
(konseling) serta kemungkinan menempatkan dalam shelter (tempat penampungan)
sehingga para korban akan lebih terpantau dan terlindungi serta konselor dapat
dengan cepat membantu pemulihan secara psikis.
Solusi untuk
menghindari KDRT ada baiknya melakukan pengenalan secara lebih dalam dari
tiap-tiap pasangan sebelum menikah. Inilah fungsi pacaran sebelum menikah. Sebaiknya
pacaran (pengenalan masing-masing pasangan secara lebih dalam) lebih menekankan
pada aspek pematangan emosi dan psikologi masing-masing pasangan, melihat
perbedaan dan mencari penyelarasan anta rpasangan. yang paling penting dan
harus dijaga adalah kualitas komunikasi antar pasangan, dari situ akan muncul
komitmen bersama. Mencoba untuk bertanggung jawab pada komitmen, menghargai
pasangan, dan memupuk kualitas komunikasi merupakan upaya untuk menghindari
KDRT (Viva 4 ever, 2009).
Sedangkan
menurut Tina (2009), solusi dalam pencegahan KDRT yakni berfikir jernih, jangan
sampai terjadi emosi sehingga menyinggung perasaan dan hati masing-masing pihak
dan pasangan itu sendiri. Perlu adanya pembicaraan dari hati ke hati dan
berupaya menyelesaikan masalah sebesar dan sekecil apapun dengan kepala dingin
agar tidak timbul konflik di dalam rumah tangga dalam pasangan tersebut,
berusaha menyelesaikan permasalahannya sesegera mungkin agar tidak
berlarut-larut.
Budi Santoso MS (2009),
berpendapat solusi kunci yang dapat menyelesaikan KDRT adalah keluarga yang selalu melaksanakan sunah
rasul, antara lain selalu musyawarah, sehingga dapat terhindar dari KDRT.
Mahmud
Aryanto (2009), bertanggapan cara dalam menyelesaikan KDRT yaitu komunikasi
yang harmonis, saling percaya dan banyak-banyak bersyukur dan bersabar antara
suami dan istri serta tanyakan kepada diri kita sendiri, sebenarnya menikah itu
untuk apa ?
Setelah
penulis menelaah tiap-tiap solusi yang telah dikemukakan oleh lima sumber di
atas, dapat diambil poin-poin penting yang dapat menjadi penyelesaian dalam
KDRT ini. Pertama yaitu pentingnya komunikasi dalam sebuah rumah tangga.
Komunikasi yang baik antar pasangan dapat mencegah terjadinya KDRT sehingga
suatu rumah tangga tersebut dapat berjalan dengan harmonis. Kedua yakni
pentingnya menyelesaikan masalah apapun dengan tenang dan sabar serta
berpikiran jernih karena penulis berpendapat masalah yang diselesaikan dengan
emosi hanya akan menambah masalah baru, sehingga bila masalah baru terus
berdatangan dapat menyebabkan stres yang memicu terjadinya KDRT.