Rabu, 27 Januari 2016

Karya Ilmiah Kekerasan Dalam Rumah Tangga

BAB I
PENDAHULUAN
                                                                                                   
1.1    Latar Belakang
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) bukan hal asing lagi bagi masyarakat karena tidak hanya heboh dalam kisah sinetron, melainkan juga populer di dunia nyata. Kian hari kasus KDRT ini kian merebak tanpa ada sebab yang jelas ataupun motivasi atas tindakan kekerasan ini. Dampak negatif yang ditimbulkan oleh kekerasan ini sangat serius karena korban KDRT  ini tidak hanya akan mengalami cacat fisik melainkan bisa juga mengalami cacat mental.
Seperti akhir triwulan pertama tahun 2007 lalu, muncul kasus dengan tingkat ekstrimitas yang tinggi, yakni sejumlah kasus pembunuhan anak oleh ibu kandungnya sendiri. Kasus terkini, Maret 2008, seorang ibu membunuh bayi dan balita dengan cara menceburkan mereka ke bak mandi. Modus baru yang perlu diwaspadai, kasus perdagangan anak untuk dijual organ tubuhnya. Menurut laporan dalam suatu pertemuan di Australia, diduga ada anak dari Indonesia yang jadi korban perdagangan anak untuk kepentingan dijual organ tubuhnya. Data kasus yang dilaporkan ke kepolisian, setiap tahun ada sekitar 450 kasus kekerasan pada anak dan perempuan. Sebanyak 45 persen dari jumlah kasus itu, korbannya adalah anak-anak (kompas, 14/04/2008).
Perlu diketahui bahwa KDRT ini bukan lagi masalah kekerasan yang terjadi dalam lingkup rumah tangga seseorang, melainkan telah menjadi tindakan kriminal, sehingga pemerintah telah mengeluarkan Undang-Undang untuk melindungi korban dan mencegah KDRT.
Beberapa Undang-Undang yang telah dikeluarkan oleh pemerintah :
1.      Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28 G
2.      Undang-Undang No. 9 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
3.      Undang-Undang No. 7 tahun 1984 tentang Pengesah-an Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita
4.      Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
5.      Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
6.      Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
7.      Undang-Undang No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT
Undang-Undang tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU KDRT) ini terkait erat dengan beberapa peraturan perundang-undangan lain yang sudah berlaku sebelumnya antara lain UU No.1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), UU No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), UU No. 1 Tahun 1974 tentang UU Perkawinan, Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All of Dicrimination Against Women) pada tanggal 24 Juli 1984. Juga telah diundangkannya Undang-Undang Hak Asasi Manusia Nomor 39 Tahun 1999 (http://pembaharuankeluarga.wordpress.com/2009/01/08/kekerasan-dalam-rumah-tangga/).
Namun pada kenyataannya pelaksanaan Undang-Undang tersebut masih kurang maksimal, tindak kekerasan ini semakin bertambah, malah semakin menjadi parah. Lalu apa yang terjadi dengan Undang-Undang HAM, Undang-Undang Perlindungan Anak dan Undang-Undang lainnya yang ‘katanya’ melindungi para korban kekerasan dalam rumah tangga ini ? Apakah Undang-Undang tersebut hanya dibuat saja tapi dalam pelaksanaannya tidak ada ?
Penulis mengambil salah satu contoh dari lingkungan kehidupan masyarakat penulis sendiri. Ada seorang Kepala Keluarga yang mengekang anaknya yang masih berumur 10 tahun agar tidak main bersama teman-teman sebayanya, anak tersebut hanya disuruh belajar dan belajar dengan alasan agar cepat pintar. Suatu saat anak tersebut tidak suka dengan apa yang dilakukan ayahnya terhadapnya, dengan emosinya anak tersebut dimarahi sambil dipukul dengan kayu rotan oleh ayahnya sendiri sehingga, mengakibatkan anak tersebut merintih kesakitan, menangis sambil memegang tubuhnya yang membiru akibat perlakuan ayahnya sendiri.
Kejadian tersebut sudah termasuk kekerasan dalam rumah tangga. Inilah salah satu yang perlu diluruskan, bahwa pendidikan yang di dalamnya terdapat kekerasan hanya akan mengakibatkan kesengsaraan.
Menurut penulis, jangan sepenuhnya serahkan permasalahan ini kepada pemerintah, tapi masyarakat juga harus membantu. Bila hanya pemerintah yang bergerak, tapi masyarakat masa bodoh dengan tindak kekerasan ini, maka penulis yakin pemerintah tidak dapat menyelesaikan secara menyeluruh tindak kekerasan ini. Pemerintah mempunyai aparat penegak hukum yang telah disebarkan di seluruh pelosok negeri kita ini, dengan tujuan agar dapat segera menangani tindak kriminal yang terjadi di daerah tersebut. Sekarang masyarakat pun harus ikut membantu melancarkan tugas para penegak hukum tersebut dengan cara melaporkan apa yang terjadi di lingkungan mereka yang dianggap suatu tindak kriminal. Bila sudah terjadi komunikasi antara masyarakat dengan aparat penegak hukum, maka tindak kriminal ini bisa diminimalisir bahkan bisa ditumpas hingga ke akar-akarnya. Penulis sangat menekankan pada kerja sama antara pihak masyarakat dengan pihak penegak hukum.
  
1.2        Rumusan Masalah
1.      Apa definisi Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) ?
2.      Mengapa Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) bisa terjadi ?
3.      Apa akibat yang ditimbulkan tindak Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) ?
4.      Bagaimana upaya penyelesaian KDRT ?

1.3        Cara Pembahasan
Agar tidak terjadi pemahaman yang terlalu luas, penulis membatasi ruang lingkup pembahasan pada pengertian, penyebab, dampak dan solusi KDRT. Penulis dalam membahas masalah KDRT ini, mengambil penelitian kepustakaan, yakni melalui internet.





BAB II
PEMBAHASAN

2.1        Definisi Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)
Menurut widha87 (2009), KDRT adalah “setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan, atau penderitaan secara fisik, seksual psikologis, penelantaran rumah tangga, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga”.  Sebenarnya KDRT bisa menimpa siapa saja baik ibu, bapak, suami, istri, anak, pembantu rumah tangga, ataupun anggota keluarga lain yang tinggal serumah alias seatap misal bapak/ibu/mertua dll, namun Secara umum pengertian KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) lebih di persempit artinya sebagai bentuk penganiayaan seorang suami terhadap sang istri.
Menurut Marsana Windhu (2002,12-31) yang mengikuti Johan Galtung, kekerasan dalam rumah tangga bukan hanya kekerasan psikologis tetapi juga kekerasan struktural. Kekerasan struktural yang terjadi di Indonesia, yakni, penyimpangan hukum, kemiskinan, ketertinggalan, perang mengatasnamakan kelompok, merupakan suatu realitas masyarakat yang tidak sesuai dengan gagasan idealnya.
Menurut AKBP Drs. YUDIAWAN SRIYANTO, Psi. (2008), KDRT adalah adanya kekerasan dalam rumah tangga seperti kekerasan fisik (tamparan, pukulan, lemparan benda-benda), kekerasan psikis (penghinaan, kata-kata kasar) maupun kekerasan ekonomi (penelantaran).
Menurut Prof. Dr. Harkristuti Harkrisnowo, SH. (2004), KDRT merupakan kekerasan jasmani, seksual dan psikologis yang terjadi dalam rumah tangga, dalam masyarakat umum, dan juga yang dilakukan atau dibiarkan terjadinya oleh Negara.
Menurut Yus Mashfiyah (2009), secara definitif kekerasan adalah segala bentuk perbuatan yang menimbulkan luka baik secara fisik maupun psikologis.
Dari definisi di atas, menurut penulis pengertian KDRT adalah bentuk kekerasan yang terjadi dalam suatu rumah tangga  baik secara fisik maupun psikologis dengan sasaran yang paling sering menjadi korbannya yakni perempuan dan anak-anak.

2.2        Penyebab Terjadinya Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)
Menurut Husnul Khotimah (2006), penyebab KDRT adalah akibat masih kuatnya budaya patriarki di tengah-tengah masyarakat yang selalu mensubordinasi dan memberikan pencitraan negatif terhadap perempuan sebagai pihak yang memang 'layak' dikorbankan dan dipandang sebatas "alas kaki di waktu siang dan alas tidur di waktu malam".
Menurut Andi (2009), faktor penyebab terjadinya KDRT adalah budaya patriarki yang masih kuat sehingga laki-laki dianggap paling dominan, baik di dalam keluarga maupun lingkungan sekitar, himpitan ekonomi keluarga, himpitan masalah kota besar yang mendorong stress, kondisi lingkungan dan pekerjaan yang berat mendorong tingginya temperamental orang.
Menurut Mbah Romo (2009) faktor-faktor penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga adalah :
1.      Masih rendahnya kesadaran untuk berani melapor dikarenakan dari masyarakat sendiri yang enggan untuk melaporkan permasalahan dalam rumah tangganya, maupun dari pihak-pihak yang terkait yang kurang mensosialisasikan tentang kekerasan dalam rumah tangga, sehingga data kasus tentang (KDRT) pun, banyak dikesampingkan ataupun dianggap masalah yang sepele. Masyarakat ataupun pihak yang tekait dengan KDRT, baru benar-benar bertindak jika kasus KDRT sampai menyebabkan korban baik fisik yang parah dan maupun kematian, itupun jika diliput oleh media massa. Banyak sekali kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang tidak tertangani secara langsung dari pihak yang berwajib, bahkan kasus-kasus KDRT yang kecil pun lebih banyak dipandang sebelah mata daripada kasus-kasus lainnya.
2.      Masalah budaya, masyarakat yang patriarkis ditandai dengan pembagian kekuasaan yang sangat jelas antara laki-laki dan perempuan dimana laki-laki mendominasi perempuan. Dominasi laki-laki berhubungan dengan evaluasi positif terhadap asertivitas dan agtresivitas laki-laki, yang menyulitkan untuk mendorong dijatuhkannya tindakan hukum terhadap pelakunnya. Selain itu juga pandangan bahwa cara yang digunakan orang tua untuk memperlakukan anak-anaknya, atau cara suami memperlakukan istrinya, sepenuhnya urusan mereka sendiri dapat mempengaruhi dampak timbulnya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
3.      Faktor Domestik Adanya anggapan bahwa aib keluarga jangan sampai diketahui oleh orang lain. Hal ini menyebabkan munculnya perasaan malu karena akan dianggap oleh lingkungan tidak mampu mengurus rumah tangga. Jadi rasa malu mengalahkan rasa sakit hati, masalah Domestik dalam keluarga bukan untuk diketahui oleh orang lain sehingga hal ini dapat berdampak semakin menguatkan dalam kasus KDRT.
4.      Lingkungan. Kurang tanggapnya lingkungan atau keluarga terdekat untuk merespon apa yang terjadi, hal ini dapat menjadi tekanan tersendiri bagi korban. Karena bisa saja korban beranggapan bahwa apa yang dialaminya bukanlah hal yang penting karena tidak direspon lingkungan, hal ini akan melemahkan keyakinan dan keberanian korban untuk keluar dari masalahnya.
Sedangkan menurut Ragile (2009), penyebab KDRT terjadi karena pelaku belum memiliki pengetahuan yang cukup tentang hak dan kewajiban, belum memahami etika pergaulan dan etika berumah tangga yang beradab sesuai dengan perkembangan jaman.
Yus Mashfiyah (2009) berpendapat bahwa penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga adalah pada saat ada ketimpangan kekuasaan yakni pada saat seseorang merasa lebih berkuasa atau lebih kuat dari orang lain.
Menurut penulis sendiri penyebab terjadinya KDRT karena faktor budaya yang masih melekat. Masyarakat menganggap bahwa pria lebih berkuasa dari perempuan yang kemudian menjadi asumsi bahwa perempuan merupakan sasaran yang tepat bagi pelampiasan emosi pria, sehingga pada saat kekerasan tersebut terjadi, masyarakat beranggapan perempuan layak untuk mendapatkannya.

2.3        Akibat Yang Ditimbulkan Tindak Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)
Mbah Romo (2009), berpendapat akibat ataupun pengaruh dari kekerasan yang dilakukan dalam rumah tangga (KDRT) dapat berwujud secara fisik (luka, cacat) maupun secara psikis (trauma, depresi, rasa rendah diri untuk berhubungan dengan orang lain) bagi kelompok korban, jika tidak ditangani dengan cepat dapat berakibat fatal dalam kehidupan korban.
Menurut Widha87 (2009), KDRT mengakibatkan gangguan mental (kejiwaan) terhadap istri maupun anak, melanggar syari’at agama sementara agama mengajarkan umatnya untuk mewujudkan keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah bukanlah suatu KDRT.
Menurut Prof. Dr. JE Sahetapy (dalam Swardhana, 2004:87), KDRT dapat mengakibatkan korban menderita kerusakan, kesakitan, atau bentuk-bentuk kerugian yang lain (fisik maupun mental), hal ini tidak hanya dilihat dari sudut pandang hukum, tetapi juga sudut pandang ekonomi, sosiologi, politik, dan budaya.
Pudji Susilowati, S.Psi (2008), mengemukakan dampak dari kekerasan terutama terhadap istri adalah: mengalami sakit fisik, tekanan mental, menurunnya rasa percaya diri dan harga diri, mengalami rasa tidak berdaya, mengalami ketergantungan pada suami yang sudah menyiksa dirinya, mengalami stress pasca trauma, mengalami depresi, dan keinginan untuk bunuh diri.
Dampak kekerasan terhadap pekerjaan istri adalah kinerja menjadi buruk, lebih banyak waktu dihabiskan untuk mencari bantuan pada Psikolog ataupun Psikiater, dan merasa takut kehilangan pekerjaan.
Dampaknya bagi anak adalah: kemungkinan kehidupan anak akan dibimbing dengan kekerasan, peluang terjadinya perilaku yang kejam pada anak-anak akan lebih tinggi, anak dapat mengalami depresi, dan anak berpotensi untuk melakukan kekerasan pada pasangannya apabila telah menikah karena anak meniru perilaku dan cara memperlakukan orang lain sebagaimana yang dilakukan oleh orang tuanya.
KDRT berdampak pada korban baik secara fisik maupun psikis korban tersebut. Akibat penganiayaan fisik yang jelas menderita sakit badaniah contoh : penganiayaan yang dilakukan oleh suami di Surabaya yang menyiramkan air panas ke muka istrinya yang berakibat fatal wajah istrinya tersebut menjadi melepuh. Penganiayaan-penganiayaan yang juga dilakukan oleh orang tua kepada anak-anaknya juga sering kita dengra dan lihat mengakibatkan anka tersebut menderita patah, memar maupun yang sangat yang lebih marah sampai meninggal dunia. Dari contoh-contoh diatas merupakan dampak-dampak fisik akibat dari KDRT yang secara tidak langsung akan juga berdampak pada kondisi psikologis para koraban KDRT, (penganiayaan anak yang dilakukan orang tua) akibat yang dilakukan oleh orang tua merupakan pengalaman yang sangat negatif bagi anak. Dengan demikian, tidak mengejutkan bila banyak di antara anak-anak mengalami gangguan serius dan berlangsung dalam jangka panjang pada kesehatan psikologis, fungsi dengan hubungan sosial, dan perilaku mereka secara umum. Self Esteem yang rendah, kecemasan, perilaku merusak diri (self destructive), dan ketidakmampuan menjalin hubungan yang saling mempercayai dengan orang lain adalah efek-efek penganiayaan fisik pada masa kanak-kanak yang lazim dilaporkan (Milner dan Crouch, 1999).
Pada dampak penganiayaan pada pasangan yang sering terjadi dalam kehidupan rumah tangga, selain menimbulkan akibat fisik badaniah (cedera yang serius. Lebih tingginya insiden penyakit fisik yang berhubungan dengan stress) dan efek yang bersifat ekonomis. Diantara efek-efek psikologis penganiayaan pasangan, depresi, kecemasan, dan self esteem yang negatif telah diidentifikasi sebagai respon yang lazim dijumpai. Selain itu, penganiayaan pasangan memiliki efek adversif terhadap hubungan antar pribadi secara umum (AKBP Drs. YUDIAWAN SRIYANTO, Psi., 2008).
Penulis sendiri berpendapat akibat dari KDRT yakni akibat fisik meliputi bekas kekerasan yang dilakukan oleh pelaku seperti bekas luka akibat pukulan dan memar. Akibat mental meliputi menurunnya rasa percaya diri, adanya ketakutan yang berkepanjangan dan tidak berdaya untuk melaporkan kejadian yang dialami oleh korban kepada pihak yang berwajib.

2.4        Upaya Penyelesaian KDRT
AKBP Drs. YUDIAWAN SRIYANTO, Psi. (2008) mengemukakan upaya penyelesaian KDRT, yaitu :
1.      Membangun kesadaran bahwa persoalan KDRT adalah persoalan sosial bukan individual dan merupakan pelanggaran hukum yang terkait dengan HAM.
2.      Sosialiasasi pada masyarakat tentang KDRT adalah tindakan yang tidak dapat dibenarkan dan dapat diberikan sanksi hukum. Pertama-tama dengan cara mengubah pondasi KDRT di tingkat masyarakat dan terutama membutuhkan adanya konsensus bahwa kekerasan adalah tindakan yang tidak dapat diterima.
3.      Mengkampanyekan penentangan terhadap penayangan kekerasan di media yang mengesankan kekerasan sebagai perbuatan biasa, menghibur dan patut menerima penghargaan.
4.      Peranan media massa, Media cetak, televisi, bioskop, radio dan internet adalah macrosystem yang sangat berpengaruh untuk dapat mencegah dan mengurangi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Peran media massa sangat berpengaruh besar dalam mencegah KDRT bagaimana media massa dapat memberikan suatu berita yang bisa merubah suatu pola budaya KDRT adalah suatu tindakan yang dapat melanggar hukum dan dapat dikenakan hukuman penjara sekecil apapun bentuk dari penganiayaan.
5.      Mendampingi korban dalam menyelesaikan persoalan (konseling) serta kemungkinan menempatkan dalam shelter (tempat penampungan) sehingga para korban akan lebih terpantau dan terlindungi serta konselor dapat dengan cepat membantu pemulihan secara psikis.
Solusi untuk menghindari KDRT ada baiknya melakukan pengenalan secara lebih dalam dari tiap-tiap pasangan sebelum menikah. Inilah fungsi pacaran sebelum menikah. Sebaiknya pacaran (pengenalan masing-masing pasangan secara lebih dalam) lebih menekankan pada aspek pematangan emosi dan psikologi masing-masing pasangan, melihat perbedaan dan mencari penyelarasan anta rpasangan. yang paling penting dan harus dijaga adalah kualitas komunikasi antar pasangan, dari situ akan muncul komitmen bersama. Mencoba untuk bertanggung jawab pada komitmen, menghargai pasangan, dan memupuk kualitas komunikasi merupakan upaya untuk menghindari KDRT (Viva 4 ever, 2009).
Sedangkan menurut Tina (2009), solusi dalam pencegahan KDRT yakni berfikir jernih, jangan sampai terjadi emosi sehingga menyinggung perasaan dan hati masing-masing pihak dan pasangan itu sendiri. Perlu adanya pembicaraan dari hati ke hati dan berupaya menyelesaikan masalah sebesar dan sekecil apapun dengan kepala dingin agar tidak timbul konflik di dalam rumah tangga dalam pasangan tersebut, berusaha menyelesaikan permasalahannya sesegera mungkin agar tidak berlarut-larut.
Budi Santoso MS (2009), berpendapat solusi kunci yang dapat menyelesaikan KDRT adalah keluarga yang selalu melaksanakan sunah rasul, antara lain selalu musyawarah, sehingga dapat terhindar dari KDRT.
Mahmud Aryanto (2009), bertanggapan cara dalam menyelesaikan KDRT yaitu komunikasi yang harmonis, saling percaya dan banyak-banyak bersyukur dan bersabar antara suami dan istri serta tanyakan kepada diri kita sendiri, sebenarnya menikah itu untuk apa ?
Setelah penulis menelaah tiap-tiap solusi yang telah dikemukakan oleh lima sumber di atas, dapat diambil poin-poin penting yang dapat menjadi penyelesaian dalam KDRT ini. Pertama yaitu pentingnya komunikasi dalam sebuah rumah tangga. Komunikasi yang baik antar pasangan dapat mencegah terjadinya KDRT sehingga suatu rumah tangga tersebut dapat berjalan dengan harmonis. Kedua yakni pentingnya menyelesaikan masalah apapun dengan tenang dan sabar serta berpikiran jernih karena penulis berpendapat masalah yang diselesaikan dengan emosi hanya akan menambah masalah baru, sehingga bila masalah baru terus berdatangan dapat menyebabkan stres yang memicu terjadinya KDRT.


BAB III
SIMPULAN DAN SARAN

3.1        Kesimpulan
1.      KDRT adalah bentuk kekerasan yang terjadi dalam suatu rumah tangga  baik secara fisik maupun psikologis dengan sasaran yang paling sering menjadi korbannya yakni perempuan dan anak-anak.
2.      Penyebab KDRT karena faktor budaya yang masih melekat. Masyarakat menganggap bahwa pria lebih berkuasa dari perempuan yang kemudian menjadi asumsi bahwa perempuan merupakan sasaran yang tepat bagi pelampiasan emosi pria, sehingga pada saat kekerasan tersebut terjadi, masyarakat beranggapan perempuan layak untuk mendapatkannya.
3.      Akibat dari KDRT fisik meliputi bekas kekerasan yang dilakukan oleh pelaku seperti bekas luka akibat pukulan dan memar. Akibat mental meliputi menurunnya rasa percaya diri, adanya ketakutan yang berkepanjangan dan tidak berdaya untuk melaporkan kejadian yang dialami oleh korban kepada pihak yang berwajib.

3.2    Saran
1.      Pentingnya komunikasi dalam sebuah rumah tangga. Komunikasi yang baik antar pasangan dapat mencegah terjadinya KDRT sehingga suatu rumah tangga tersebut dapat berjalan dengan harmonis.
2.      Pentingnya menyelesaikan masalah apapun dengan tenang dan sabar serta berpikiran jernih karena masalah yang diselesaikan dengan emosi hanya akan menambah masalah baru, sehingga bila masalah baru terus berdatangan dapat menyebabkan stres yang memicu terjadinya KDRT.


DAFTAR PUSTAKA
Andi (2009). Faktor penyebab terjadinya KDRT adalah budaya patriarki yang masih kuat. 08 Mei 2009. Diakses dari website

Harkrisnowo, Harkristuti (2004). Menyimak Rancangan Undang-Undang : Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Diakses dari website http://www.djpp.depkumham.go.id/inc/buka.php?czo4NDoiZD1zb3MrMSZmPU1lbnlpbWFrX1JVVV9QZXJsaW5kdW5nYW5fVGVyaGFkYXBfS29yYmFuX0tla2VyYXNhbl9EYWxhbV9SdW1haF9UYW5nZ2EuaHRtIjs= pada tanggal 21 Desember 2009.

Khotimah, Husnul (2006). Menyoal UU KDRT. 05 Februari 2006. Diakses dari website http://www.mail-archive.com/aroen99society@yahoogroups.com/msg01141.html pada tanggal 21 Desember 2009

Mashfiyah, Yus (2009). Mesin Kekerasan Dalam Rumah Tangga. 27 Januari 2009. Diakses dari website

Mbah Romo (2009). Ada Apa Dengan Kekerasan Dalam Rumah Tangga ?. 10 April 2009. Diakses dari website

Ragile (2009). Kasus KDRT di Mana Ulama Gagap Bicara HAM. 11 Agustus 2009. Diakses dari website

Sahetapy, JE (2004:87). Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Sahara5000. 08 Januari 2009. Diakses dari website

Sriyanto, Yudiawan (2008). Ada Apa Dengan Kekerasan Dalam Rumah Tangga ?. 01 November 2008. Diakses dari website
http://www.lodaya.web.id/?p=2660 pada tanggal 21 Desember 2009

Susilowati, Pudji (2009). Kekerasan Dalam Rumah Tangga Terhadap Istri. Jakarta. 20 Februari 2008. diakses dari website

Widha87 (2009). Beda Tipis Antara Tegas dan Emosi Dalam KDRT. 08 November 2009. Diakses dari website

Tidak ada komentar:

Posting Komentar